Thursday, June 2, 2011

Karang Pinggan

Ketek (Perahu kecil bermesin) adalah satu-satunya alat transportasi yang bisa digunakan untuk menuju Lingkungan Karang Pinggan, Kelurahan Muara Kulam, Kecamatan Ulu Rawas. Kebutuhan akan jalan sebagai jalur transportasi darat yang lebih murah ongkosnya dan lebih aman adalah kebutuhan yang mendesak untuk segera dilaksanakan. Ada empat lingkungan yang tergolong terisolir di Kelurahan Muara Kulam ; Batu Tulis, Karang Pinggan, Bukit Cinau, Sendawar. Jumlah Kepala Keluarga yang mendiami masing-masing lingkungan ini memang belum banyak. Berkisar 40-70. Tapi sebagai bagian dari sebuah kelurahan, lingkungan ini tidak kalah berjasa dalam memberi kontribusi menghidupkan perekonomian di sini. Karet, sawah, durian, duku, hutan dan lain-lain adalah salah satu contoh sumber daya alam yang ada di lingkungan ini. Harga BBM yang terus melonjak menyulitkan mereka dalam membuka akses diri ke luar. Sungai Kulam, sebagai sarana jalur transportasi sungai, kondisinya cukup memprihatinkan. Saat kemarau, sungai menjadi dangkal. Ini menyulitkan hubungan ke luar karena ketek akan sulit lewat karena nyangkut di batu. Kalau sungau terlalu besar pun akan kesulitan karena arusnya yang cukup deras. Beruntung masyarakat di sini sudah piawai dan terbiasa dengan kondisi alam seperti ini. Jalur sungai yang deras, batu-batuan yang banyak di dasar dan tengah sungai. Ketek-ketek kecil ini lincah menyelip di antara bebatuan yang menyembul di permukaan sungai. Arus yang deras, ketek yang terbawa arus setiap saat siap untuk menghantam batu-batu ini, bila si sopir ketek lengah atau kurang hati-hati. Orang yang sudah tua, anak-anak yang masih kecil, setiap saat sudah akrab dengan kondisi seperti ini. 
Jalur transportasi darat berupa pembukaan jalan adalah alternatif jalur transportasi yang menjanjikan. Dengan adanya jalan biayanya transport jadi murah dan waktu perjalanan jadi singkat dan aman. Usualan ini sealu diusulkan masyarakat di lingkungan ini. Tetapi selalu saja kandas karena banyak alasan. Masyarakat sudah mulai bosan dengan menunggu dan menunggu. Inisiatif untuk swadaya membuka jalan sendiri adalah uapaya yang ditunjukkan masyarakat di sini bahwa mereka betul-betul serius dan membutuhkan jalan tersebut. Jalan yang ini sudah dibuka yang sudah bisa dilewati motor mulai dari Muara Kulam sampai batu tulis. Saat ini kondisinya masih tanah dan licin bila hujan. Jaraknya sekitar tiga kilometer. Dari Batu Tulis ke Karang Pinggan sekitar lima meter, Muara Kulam ke Sendawar sekitar tiga kilometer dan jalannya juga belum ada.  Hanya lewat sungai. Kita cuma bisa berharap mudah-mudahan jalan-jalan ini secepatnya dibangun.(*)

Monday, April 11, 2011

Ceramah Ustadz Sulaiman (2) : Sholat sebagai Ar-risalah

Perempuan itu, sebut saja namanya Aminah, berprofesi sebagai tukang urut. Sebuah profesi yang memang  kalah keren dibanding dengan profesi, Jamilah, tetangganya yang memiliki profesi sebagai pegawai negeri sipil di sebuah kelurahannya. Tapi sebagai seorang Muslimah di hadapan Allah SWT Si Ibu Tukang Urut ini sepertinya lebih mulia. Apa pasal ? Ibu Aminah dan ibu Jamilah ini teman satu pengajian di masjid di kelurahan  mereka. Mereka sama-sama sholat lima waktu. Kadang-kadang terlihat sholat berjamaah di masjid. Kadang-kadang di rumah masing-masing.  Tapi yang menarik dari ibu Aminah, dia sudah mempraktekkan sholat sebagai sebuah hakikat bukan semata-mata gerakan syariat dan sholat sebagai ar-risalah atau pendidikan. Gerakan rukuk dan sujud adalah pendidikan dari Allah SWT agar sering-sering menunduk ke bawah hingga menjadi manusia yang rendah diri (hati), tidak sombong. Setidaknya ada beberapa kejadian yang dicatat oleh masyarakat sekitar mengenai kemualiaan hati Ibu Aminah ini. Salah satunya begini : Al kisah ibu Aminah naik becak, dari pasar ke rumahnya. Di tengah perjalanan dia bercerita dengan tukang becak. Sampailah tukang becak ini curhat. Intinya, tukang becak mengeluh tentang setorannya hari itu. Hasil pekerjaan seharian hanya cukup untuk makan dan setoran. "Memangnya berapa setorannya ..?" Tanya ibu Aminah. "Lima Ribu.." Jawab Tukang Becak. "Ooo.." Timpal ibu Aminah panjang. Hingga akhirnya sampai di rumah ibu Aminah, Ibu Aminah turun, menanyakan ongkosnya berapa. "Lima Ribu..." Jawab Tukang Becak. "Ini lima ribu untuk ongkos..lima ribu lagi untuk setoran kamu..." Ujar Ibu Aminah menyodorkan dua lembar lima ribuan kepada si Tukang Becak. Wajah si Tukang Becak sumringah bagai bunga yang baru merekah. Wajahnya berseri-seri bagai ketiban durian runtuh. "Wahh..tengkyu banget nek..." Ujar si Tukang Becak. Ibu Aminah. Memang cuma lima ribu, tapi bagi si Tukang Becak, ini seperti lima juta. Karena jarang-jarang ada penumpang yang berbaik hati memberi uang. Kalau yang nawar, mengurangi banyak. Ini si Ibu Aminah secara sederhana sudah mampu mempraktekkan gerakan rukuk dan sujudnya dalam sholat ke dalam kehidupan sehari-hari. Tentu kita dengan latar pendidikan, profesi, jabatan masng-masing dituntut untuk dapat mengaplikasikan hakikat sholat dalam kehidupan sehari-hari. Hingga jangan sampai kita termasuk golongan orang-orang yang celaka dalam sholatnya seperti diceritakan dalam surat al-Ma'un : 4-7 : ...Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Sunday, March 27, 2011

Ceramah Ustadz Sulaiman : Hakikat Shalat.

Shalat sebagai ibadah selain sebagai sebuah perilaku ritual seharusnyalah juga berdampak kepada perilaku sosial. Istilahnya, hablumminallah hablumminannas. Selain menjaga hubungan dengan  Allah swt sebagai Sang Kholik juga menjaga hubungan antar manusia agar berjalan sesuai dengan yang dikehendakiNya. Shalat harus dijalankan bukannya hanya rangkaian dengan rukun-rukunnya yang sudah disyariatkan, tetapi juga dilaksanakan dengan penuh kebermaknaan dalam khusyu'. Ada banyak kandungan hakikat yang terkandung dalam setiap gerakannya. Shalat adalah upaya kita berdialog dengan yang Maha Besar. Lebih besar dari segala yang ada di dunia. Kalau kita begitu takzim di depan penguasa di dunia, sepatutnylah kita lebih takzim kepada penguasanya para penguasa di dunia. Berdiri dengan betul, tegak menghadap wajah kepada Allah swt, berarti kita harus tegar dan konsisten, tidak mudah ragu bimbang kepada ajakan dunia yang membawa kepada keburukan. Takbir, kita mengangkat tangan dengan menghadapkan sepuluh jari ke muka, berucap Allahu Akbar, bermakna bahwa kita berserah diri dengan seluruh kelemahan kita kepadaNya. Kita baca iftitah, Kita hadapkan wajah kita kepada Allah swt, kita berjanji hidup dan mati kita hanya karena Allah swt semata. Kita baca alfatihah. Lalu rukuk kita menghadap ke bawah. Kita seperti diingatkan bahwa kita sering-sering menghadap ke bawah. Apakah sudah menyantuni anak yatim atau belum. Kalau belum berarti rukuk kita belum sempurna di hadapan Allah swt. Kita baca Subhanarobbiyal 'adzimi wa bihamdihi, tiga kali. Kita pahami maknanya kita memahasucikan dan memuji Allah swt. Disebut tiga kali karena kita ingin agar Allah swt jga mensucikan akal, rasa dan hati kita. Mensucikan akal kita yang sering nakal. Mensucikan hati kita dari iri, dengki, sombong, sering berbohong, menipu dan sebangsanya. Lalu kita sujud juga membaca tasbih. Kita cium bumi yang sudah berumur milyaran tahun ini. Lalu kita duduk antara dua sujud. Itulah hidup kita. Hidup kita di dunia ini sekarang seperti duduk antara dua sujud, sementara lalu kita sujud lagi mencium bumi. Awalnya kita berasal dari tetes yang hina. Dari sperma ayah dan sel telur ibu kita. Orang tua kita makan nasi, sayuran dan makanan lainnya yang asalnya ditanam di dalam tanah. Lalu makanan itu berubah menjadi sperma dan sel telur. Bertemu di rahim ibu jadilah kita. Kita hidup di dunia sekian lama lalu akan kembali ke dalam tanah lagi. Dikubur dan orang-orang yang kita tinggalkan menyebutnya dengan sebutan almarhum dan almarhumah. Yang dirahmati. Apa betul kita dirahmati ? Cuma sebutan di dunia. Di dihadapan Allah swt belum tentu sama sekali. (*)

Thursday, March 3, 2011

Life

Mensyukuri masih ada kehidupan, hari ini. Setiap saat setiap kesempatan, mencoba berterima kasih kepada Tuhan. Kehidupan adalah hadiah terbesar yang pernah kita terima. Kehidupan tak pernah menjanjikan apa-apa dari apa yang kita dapat lihat dan rasakan kini, bila keinginan hanya untuk menikmati dunia.  Dia hanyalah sebuah cerita nyata, kita pemainnya. Kita tahu apa yang harus kita perankan, pada kehidupan ini. Lampu, suara, warna warni. Asesoris dunia melengkapi. Kita berhak mendapatkan semuanya, dan kita wajib memanfaatkannya dengan maksimal. Inilah satu satunya kesempatan mahal, bernilai. Milyaran orang yang saat ini sudah wafat, pasti ada yang ingin sekali membeli kehidupan ini lagi. Uang yang dicari bertahun-tahun tak akan bisa membayarnya. Lalu sebab apa menyebabkab kita menyia-nyiakan barang yang teramat mahal ini ?

Jangan usir anak kita dari masjid dengan sikap kita

Seberapa banyak kanak-kanak yang kemudian berusaha menjauh dari masjid hanya karena sikap kita, orang tua, yang tanpa sadar agak berlebihan. Namanya anak-anak bermain adalah pekerjaannya. Kalau sudah berkumpul pasti rame. Dimana saja tak terkecuali di masjid.
Ada di suatu desa, saban sore masjid dipenuhi anak-anak. Terutama maghrib, sekalian belajar ngaji usai shalat maghrib. Saat menjelang shalat maghrib, anak-anak seperti sifatnya, selalu banyak main. Tapi mainnya agak teratur. Saling colek, saling ganggu di tempat wudhu tapi tidak berisik. Ngomongnya juga pelan-pelan. Kalau kita lewat di samping mereka, mereka menatap dengan tatapan yang  seperti heran, takut, segan atau sopan. Ketika saat imam mengangkat takbir memulai sholat anak-anak ini tak ada yang bersuara, rapi mengikuti imam dengan tertib. Tak ada suara berisik, ribut main-main yang berlebihan sampai mengganggu. Padahal anak-anak ini ada sekitar empat saf berbaris di belakang imam dan orang dewasa di depannya. Ya terlihat tertib. Kontras dengan anak-anak di desa satunya. Saat sholat Jum'at, orang tua sholat, anak-anaknya sibuk bermain, suaranya kencang seperti di pasar.
Kembali ke desa yang pertama, entah bagus atau tidak, ternyata semua orang dewasa yang sholat di masjid itu dibolehkan menjentik telinga anak yang didapatinya ketahuan ribut atau main-main. Anak-anak ini dipastikan tak akan melaporkan jentikan Mang Ujang kepada Bapaknya yang akan berujung baku pukul. Karena Sang bapak pasti sudah memafhuminya karena ia juga akan menjentik telinga anak Mang Ujang kalau kedapatan ribut saat mau dan sedang sholat. Tapi nampaknya cara ini efektif, buktinya kok bisa tertib begitu. Tapi boleh jadi ada sebab lain yang tak diketahui seperti guru ngajinya yang berkharisma atau yang lainnya.
Lalu di sini, Pak Aji satu ini, kayaknya sudah habis kesabarannya. Melihat anak-anak yang masih saja main-main padahal sudah waktunya sholat maghrib. "Tidak usah sholat, tidak usah sholat..kalau mau main." Di sadari atau tidak sikap seperti ini yang akan menjauhkan anak-anak dari masjid. Di samping motivasinya masih lemah, ditambah diusir  dari masjid, sangat boleh ini salah satu penyebab kita yang setelah tua sungkan datang ke sini. Bandingkan dengan Pak Aji di masjid lainnya. "Adek sholatnya jangan ribut ya..rapat-rapat..." Ujarnya lembut.
Kita harus punya cara sendiri-sendiri bagaimana agar anak-anak, generasi  kita tidak menjauh dari masjid.(*)

Tentu saja Tuhan Lebih LAyak Kita Cintai daripada Sebatang Rokok


Perokok itulah gelar yang disandang dulu. Mengenal rokok sejak kecil, dari main-main. Melihat gede (kakek) menghisap rokok pucuk (daun nipah). Kelihatannya asyik keluar asapnya ngebul dari mulut dan hidung. Bukan hanya gede, yang dilihat tapi juga bak (bapak), mamang, bahkan ada bibik-bibik yang merokok. Jadi kenyataan ini (merokok) sudah diterima sebagai sebuah aktifitas yang baik-baik saja, buktinya gede yang umurnya sudah banyak pun merokok. Herannya ketika kita coba memegang saja, sudah dibentak. “Heh.. anak kecil jangan pegang-pegang..” Oh jadi anak kecil tidak boleh pegang, kalau sudah besar boleh dong. Kalau tidak bisa dilihat mulai dengan sembunyi-sembunyi ambil rokok pucuk gede plus temakonyo (tembakaunya). Di sulut isap..puss..terbatuk-batuk..rasanya aneh, tidak enak sama sekali, tapi lucu juga ada asapnya…  Demikianlah pengenalan terhadap rokok sudah diperkenalkan sejak usia dini bahkan ketika jabang bayi masih dalam kandungan emaknya ada juga yang telah memperkenalkannya.
Hingga ketika kuliah merokok adalah aktifitas yang wajib. Bukan persoalan uang ada berapa di kantong. Yang penting bagaimana agar selalu bisa ngebul. Ibarat kereta api, tidak akan jalan kalau tidak asapnya. Saking wajibnya, rela nggak sarapan, yang penting bisa merokok.
Lalu kenapa sekarang bisa berhenti ?
Keberhasilan untuk berhenti merokok sebenarnya hasil dari akumulasi penyadaran demi penyadaran setiap saat dan kesempatan. Tidak serta merta berhenti begitu saja. Ada proses yang dilewati.
Awalnya memang ada niat untuk berhenti karena memang merokok ini memang tidak ada manfaatnya sama sekali. Kemudian mengagumi teman yang bisa berhenti merokok. “Kok bisa ?” Padahal dulu berbungukus-bungkus. Jadi ada model, idola tersendiri. Ada keinginan untuk mencontoh. Kemudian ada ungkapan kita akan mati dengan apa yang kita cintai. Lagi asyik merokok ada suara adzan. Adzan panggilan dari Tuhan untuk menyembah bukti kesyukuran dan kecintaan kepadaNya. “Tanggung masih panjang..” Sambil menyedot adzan berkumandang, sepertinya aku lebih cinta kepada rokok daripada Tuhan".  Dapat terlihat jelas kejelekan ini. Seperti dihadapkan kepada pilihan, memilih Tuhan atau setengah batang rokok. Tentu saja Tuhan tak sebanding hanya dengan setengah batang rokok. Tapi ingatan untuk tidak merokok tidaklah permanen. Setiap selesai makan tidak lengkap kalau tidak merokok. Lagi bengong sendiri, rokok adalah kawan setia. Lagi kumpul-kumpul dengan kawan perokok, kita seperti terkucil dan diledek kalau tidak merokok. Memang godaan untuk merokok teramat banyak. Tapi dicoba untuk konsisten kepada keinginan. Ketika ingat niat, tidak berpanjang-panjang mikir langsung dibuang. Buanglah apa yang dicintai sebelum yang dicintai membuang kita. Kalau kita tidak membuang rokok, kita akan dibuang oleh rokok, suatu saat. Merokok lagi, buang lagi. Itulah rumusnya. Kemudian ketika ada yang ingin berterimakasih kepada kita karena telah menolongnya dalam bentuk rokok satu bungkus. “Wah rezeki betul ini.” Tapi mencoba konsisten. Daripada mubazir lebi baik dijual saja, lumayan untuk sebungkus nasi. Tapi bolak-balik bukan kita yang merokok malah teman kita yang kita suruh merokok. Ini agak bertentangan dengan semangat berhenti merokok. Al hasil dibuanglah rokok itu. Biar agak dramatis, dibuka bungkusnya dibuang satu demi satu ke dalam selokan sampai dua belas batang. Jadi kerasa nikmatnya mencampakkan sesuatu yang tidak patut kita cintai.
Kemudian hingga tiba di akhir upaya untuk betul-betul berhenti merokok. Merek rokok kan macam-macam dari yang merakyat seperti jambu bol, yang berat kayak Djisamsu, yang ringan seperti marlboro sampai yang elit seperti cigarillos. Nah macam-macam rokok ini sebelum betul-betul berhenti kayaknya bagus untuk semua dicoba. Muncullah ide untuk mencoba semua jenis rokok. Jadi hari ini misalnya rokok GP, besok ganti rokok  Surya. Dengan catatan setelah pindah ke rokok lain, Surya, maka jangan sekali-kali merokok GP selamanya. Walaupun dikasih. Kalau Dikasih ya diambil tapi dibuang. Selesai Surya ganti GG merah. Perlakuan yang sama dengan seperti yang pertama. Terus ganti terus, dicoba semua, jarum kuning, panamas, jambu bol, dll terakhir Kansas. Setelah dirasa cukup. Semua rokok dicicip. Jadi  tak ada lagi kesempatan untuk merokok karena semua ‘diharamkan’. Hingga akhirnya betul-betul tidak cinta sama tuh yang namanya merokok. Hingga saat ini, sepuluh tahun lebih. Mudah-mudahan sampai mati.
Jadi pengalaman berhenti merokok lebih kepada pengalaman pribadi, yang boleh jadi tidak bisa diterapkan begitu saja kepada pribadi yang lain. Tapi satu yang sama bahwa niat yang konsisten mungkin yang akan sama. Masalah pengalaman, implementasi niat ini sampai berhasil akan bergantung kepada latar pribadi masing-masing. Ditunggu deh pengalaman dan sharingnnya.(*)

Wednesday, December 8, 2010

BAlada angkot dan dunia sempit di dalamnya

Pulang kampung adalah sebuah ritus menarik bagi para kaum urban. Dengan pulang kampung ada penemuan kenangan kembali terhadp identitas diri yang lama ditinggalkan. Ada nostalgia, kerinduan dan kebahagiaan. Berbagai seremonial proses kembalinya jati diri ini ke kampung ini, menjadi wisata tersendiri. Pun aku, dengan prediksi bahwa biasanya ketika moment tertentu ada banyak pemudik yang memiliki keinginan yang sama untuk pulang kampung. Biasanya bagi pemanfaat transportsi angkot seperti saya, sudah terbayang pasti berjubel. Rebutan kursi, kayak anggota dewan. Syahdan, tibalah diri ini di terminal. Angkot yang dirindu-rindu sudah nangkring lengkap dengan sopirnya. Menyapaku lembut. ”Mau kemana..?” Aku menyebutkan desaku nan permai. Ternyata sang sopir kawan main bola dulu di waktu esde. Seperti kebanyakan angkot penampilannya selalu menunjukkan dirinya sebagai sebuah alat publik yang terkesan tak terawat. Awalnya sih lapang-lapang saja. Tempat duduk di tengah, bangku panjang. Aku istri dua sang anak. Mulai menikmati keadaan. Lama menunggu. Satu dua, tiga sampai sembilan orang berjejal. Penuhlah si angkot dengan para penumpang. Plus barang-barang titipan sebuah warung di desa. Menggunung sampai ke langit langit angkot menempti bangku yang mustinya diisi penumpang. Mulai dari gulungan tali, sangkar piring, kardus-kardus sampai pakan ayam. Menebar aroma tersendiri. Tumplek blek berbaur dengan cuaca tengah hari dengan matahari yang bersinar terang tak terhalang. ”Berngkat pir...”.
Dimulailah perjalanan itu. Di dalam angkot ini, dunia terasa begitu sempit. Bumi sejatinya menurut data wikipedia mempunyai diameter sepanjang 12.756 kilometer, teramat luas. Di sini hanya menjadi diamter 0,5 meter. Meluruskan kaki pun susah. Selama dua jam, menikmati keadaan ini. Anak-anak menangis. Jus jeruk sudah habis, dot sudah amblas, air putih mulai menyusut. Panas masih mejadi dirinya sebagai panas. Demikianlah, serba salah maju, mundur tidak bisa apalgi ke atas atau ke bawah. Tertekan dan tak lupa mengingat keluasan cintaNya. Dan akhirnya sampai juga di sini, di desa ini. Satu-satu keluar... Baru terasa bahwa nikmat luas bumi yang diciptakan. Betapa kita bebas mau bergerak mau kemana tak ada penghalang. Di sini, di bumi yang konon sudah berusia 4,6 milyar tahun ini (*)