Kereta itu berhenti di depan rumahnya, menunggu dengan sabar. Bahkan di terik matahari tengah hari. Tidak sedikitpun dia bergeser dan menggerutu. Ia mempersilahkan segalanya ditunaikan. Dia tidak melarang ketika salam demi salam disampaikan oleh keluarga sang penumpang. Dia tidak marah ketika matahari semakin meninggi memanggangnya. “Silahkan jangan terburu-buru”, ucapnya pelan. Hingga setelah semuanya telah selesai sang penumpang pun masuk. Tiga sampai lima orang mengawalnya. Seperti anak panah yang terlepas dari busurnya, kereta itu melesat, tak mau dihalangi. Saat ini juga sang penumpang harus segera tiba ke tujuannya. Menuju malam pertamanya di sana. Malam yang bukan seperti malam yang lalu. Malam yang begitu buta dalam gambarannya kecuali dari cerita dan buku-buku. Dan malam ini sang penumpang akan mengalaminya sendiri. Tak ada mempelai laki-laki atau perempuan yang menemani. Betul-betul sendiri. Bahkan tak ada yang mau diajak ke sana. Karena memang tiket diperuntukkan hanya untuk satu orang. Itulah tempat terkahir dari episode persinggahan anak manusia di dunia. Namun akhir kehidupan di dunia hanyalah sebuah awal dari perjalanan hidup kita sebenarnya. Untuk melanjutkan perjalannya menuju tempat berikutnya. Adakah bekal yang bermanfaat yang dibawa guna menemani kita dalam pelayaran nantinya ? Pelayaran yang panjang dan lama. Menyenangkan atau menderita, daftarnya ada di catatan yang sempat kita tulis ketika kita singgah di sebuah tempat yang bernama dunia. Tidak ada harta secuil pun yang kita bawa kecuali harta yang sempat kita sedekahkan. Tidak ada secarik ilmu yang bermanfaat kita bawa kecuali yang kita berikan ketika di dunia. Tidak ada satu pun anak kita yang mau ikut serta kecuali do’a yang pernah kita ajarkan kepadanya.
No comments:
Post a Comment