Tuesday, June 24, 2008

Pelatihan KAdes, BPD, LPM

Dalam rangka peningkatan kemampuan pemerintahan lokal, telah dilaksanakan Pelatihan Kepala Desa, BPD, LPM bagi lokasi PNPM Mandiri Perdesaan di Kabupaten Karimun. Kegiatan pelatihan dilaksanakan selama tiga hari atau dua hari efektif pada Minggu sampai selasa (11–13/5) di Gedung Sri Gading Kecamatan Kundur. Peserta terdiri dari Kades/Lurah, BPD, LPM di empat kecamatan lokasi PNPM MP yaitu Kundur, Moro, Kundur Barat dan Kundur Utara. ”Sebenarnya kegiatan ini akan dilaksnakan di kecamatan masing-masing, namun karena kita ingin adanya pemahaman bersama terahadap PNPM MP ini dan guna memudahkan mendatangkan narasumber dari Kabupaten dan provinsi seperti BPM & Kesbang dan Koordinator Provinsi Kepri, terpaksa digabung dan dipusatkan di Kundur ini,” Jelas Mindoko, Ketua Panitia Pelatihan Kades, BPD, LPM.
Materi yang disampaikan seperti, Sosialisasi PP 72 dan 73, Konsepsi PNPM, Tupoksi Kades, BPD, LPM, Kelembagaan BKAD-UPK, Pelestarian, Peraturan Desa. Sedangkan metode yang dipakai adalah ceramah dan tanya jawab.
Kagiatan dilaksanakan dengan menggunakan Dana Operasional Kegiatan (DOK) Pelatihan Masyarakat yang telah dianggarkan oleh masing-masing kecamatan. ”Dana DOK ini adalah dana yang bersifat subsidi dari Pusat, sehingga diharapakan adanya swadaya dari masyarakat untuk dapat memaksimalkan dana ini...” Ujar Lilik Priyanto, salah seorang Panitia.
”Dengan adanya pelatihan ini sedikit banyak telah memberikan ilmu, pengalaman, pemahaman dan pengetahuan yang patut disyukuri. Saya merasa cukup berterima kasih,” Ujar Kades Jang, Nurbi bin Buntat setelah mengikuti jalannya pelatihan.
PjOKab Karimun Mitrayati, S.Sos sedang memberikan penjelasan dalam materi Sosialisasi PP 72 dan 73 tentang Pem Desa & Kelurahan.
Pelatihan kemudian diakhiri dengan mendengarkan penjelasan dari Koordinator Provinsi Kepri, Santi Pangribuan. Dalam penjelasannya, Pak Santi menjelskan perihal dana PNPM Tahun 2007 yang masih 30% dari pusat yang memang sampai saat ini belum masuk ke rekening kolektif di kecamatan. Pak Santi menghimbau agar perlunya Satker provinsi Kepri untuk menyurati pusat perihal keterlambatan ini.

Anambas-Jemaja

Pemekaran Kabupaten Anambas menjadi perbincangan menarik. Mulai dari kedai kopi sampai media massa. Permasalahan selalu saja ada. Terkahir masalah dimana persis letak ibu kota kabupaten yang tepat. Ada dua pulau besar yang merasa berkepentingan agar pulaunya menjadi pusat pemerintahan kabupaten setelah terbentuk. Pulau Siantan dan Pulau Jemaja. Kota Tarempa di Pulau Siantan sebagai calon ibukota kabupaten memang dipandang cukup tepat. Kotanya sudah ramai, fasilitas umum sudah banyak, transportasi cukup lancar, pelabuhan memadai, investor sudah ada yang masuk, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Manusia mengizinkan dan lain-lain. Bila dibanding dengan Tarempa, pembangunan di Jemaja jauh tertinggal. Tapi kenapa Jemaja merasa tidak nyaman kalau Siantan dijadikan ibukota kabupten ? Persoalan ini harus dilihat dahulu dari kacamatan orang Pulau Jemaja.
Pulau Jemaja terdiri dari dua kecamatan, Jemaja Timur dan Jemaja Barat dengan jumlah dua belas desa. SDM di Pulau Jemaja memang masih kurang. Tak sebanding dengan SDA yang kaya. Tanah yang luas dan subur, sumber air, hasil laut yang melimpah.
Sebagai sebuah kota Jemaja masih perawan. Belum banyak pembangunan dan pengelolaan SDM belum maksimal. Semua masih alami. Hampir tak ada yang namanya volusi asap berasal dari pabrik industri. Yang ada hanya asap dari penggorengan kerupuk ikan dari dapur ibu-ibu yang mengelolanya masih secara home industry. Hasil kemasan kerupuk ini pun belum ada yang diberi label, logo atau registrasi dari Depkes. Tapi pemasarannya sudah merambah sampai ke Tanjung Pinang. Tak ada tambak ikan yang memelihara ikan secara besar-besaran. Perkebunan hanya yang ditanam oleh orang-orang tua yang kini dinikmati oleh anak cucunya. Mulai dri durian, mangga sampai pete. Di tanah yang luas dan subur jarang ada perkebunan semisal kentang, padi, wortel, kol, pare atau kacang panjang. Penduduk di sini sudah terbiasa makan tanpa sayur. Ikan adalah sumber protein yang tinggi. Kebutuhan sayur dipasok dari Tanjung Pinang atau Kalimantan.

Sebagai sebuah kecamatan, Jemaja dengan jumlah penduduk tidak lebih dari enam ribu jiwa. Kalau Jemaja dijadikan ibukota Kabupaten Anambas. Untuk tahun-tahun pertama, Sang Bupati harus siap-siap merasa kesepian dan menikmati kesunyian. Pak Bupati hanya bisa menyalakan komputer malam hari saja, kalau sumber penerangan tidak cepat-cepat dituntaskan sanga Bupati. Kalau lagi rapat pagi hari dan ada berkas yang segera di potokopi, Pak Bupati Nunggu jam enam sore baru bisa. Ada kedai foto Kopi Pek Hu, namanya. Itu pun kalau mesin potokopinya tidak rusak. Dan perbaikannya harus menunggu kapal Perintis atau KM Bukit Raya. Yang saban dua kali sebulan singgah di Pulau ini sebagai alat transportasi ke Tanjung Pinang dan ke Pulau lainnya. Atau kalau susah menunggu lama-lama, sewa pompong saja, tujuh ratus ribu rupiah, potokopi di Tarempa. Perjalanannya delapan jam pergi delapan jam pulang. Sekalian menikmati pemandangan laut dan pulau demi pulau. Sekalian berkenalan dengan ombak angin utara. Atau bisa sambil mancing, siapa tau ada ikan tongkol yang nyangkut.

Di Kecamatan Jemaja Barat terdapat tujuh desa dan kelurahan yaitu Kelurahan Letung, Desa Mampok, Rewak, Air Biru, Keramut, Sunggak dan Impol. Ada empat desa yang berada di Pulau Air Biru, Keramut, Impol dan Sunggak. Sedangkan Jemaja Timur ada empat Desa, Ulu Maras, Kuala Maras, Genting Pulur, Bukit Padi.

Kecamatan Jemaja terletak di Laut Cina Selatan, secara geografis Kecamatan Jemaja terletak pada posisi 0,2 – 48 derajat – 0,3-15 derajat lintang utara dan 105-35-105-46 derajat bujur timur.
Adapun batas-batasnya Sebelah utara berbatas dengan Laut Cina Selatan; sebelah selatan berbatas dengan Laut Cina Selatan; sebelah barat berbatas dengan Laut Malaysia Barat; Sebelah timur berbatas dengan Laut Kecamatan Siantan.
Kecamatan Jemaja merupakan gugusan kepulauan Anambas terdiri atas Pulau Besar dan kecil yang terdiri 36 pulau, 9 pulau besar yang dihuni yaitu Pulau Jemaja Besar, Pulau Langan, Pulau Keramut, Pulau Mangkai, Pulau Mubur, Pulau Teluk Dalam, Pulau Darak, Pulau Ayam dan Pulau Impol.
Kecamatan Jemaja mempunyai luas wilayah 731,58 dan terdiri luas daratan 263,65 kilometer dan Luas Lautan 467,93 kilometer dengan jumlah penduduk 6933 orang dengan 1761 Kepala Keluarga (KK).

Moro dalam pandanganku

Seperti kebanyakan kecamatan di kepualuan Riau, Moro adalah kecamatan yang berbentuk pulau. Kecamatan yang terletak pada koordinat 00°-45°-12°LU, 103°-42°-21° BT dengan ibukota Moro ini terdiri dari enam desa satu kelurahan. Keluarahan Moro, Desa Jang, Sugie, Pauh, Keban, Tanjung Pelanduk dan Selat Mie. Secara umum suku yang ada di Kecamatan yang mempunyai luas wilayah 275.800 Ha dengan wilayah Daratan 653 Km2 dan lautan 1.915 Km2 ini adalah suku Melayu. Tapi banyak juga terdapat suku-suku lainnya yang merupakan kaum pendatang mulai dari Flores, Sunda,
Jawa, Tionghoa, Batak, Palembang dan lain-lain. Ciri-ciri suku asli melayu Moro misalnya kulitnya hitam, suaranya kencang, agak tempramen sering berbual dan lain-lain. Mata pencaharian mayoritas adalah nelayan namun setelah BBM semakin mahal, banyak yang banting setir seperti dengan menjadi petani rumput laut. Usaha rumput laut ini cukup menggiurkan. Satu kilo kering bisa sampai lima ribu rupiah. Sedangkan sekali panen biasanya satu petani sampai mencapai berton-ton. Pemasannya pun tidak sulit. Tempat penampungan ada tersedia di sini, yang oleh penampung kemudian dibawa kemana-mana mulai ke jakarta sampai ke singapura. Masa penanaman sampai panen biasanya sampai empat puluh hari. Ini cukup mendatangkan keuntungan dibanding dengan pergi ke laut mencari ikan yang semakin sulit. Bukan hanya karena semakin mahal BBM tapi juga tangkapan yang kian sedikit. Hal ini akibat nelayan nakal yang menggunakan pukat harimau. Bukan hanya ikan besar yang tertangkap tapi yang paling kecil pun ikut terjaring.
Usaha rumput laut ini hanya di tempat-tempat tertentu. Dimana tempat yang berpasir dan airnya jernih. Rumput laut hanya bisa hidup di tempat seperti ini. Bahkan ada satu dusun di Kecamatan Moro, Dusun Pulau Jaga desa Sugie adalah salah satu pulau penghasil rumput laut terbesar di Kepulauan Riau.
Mata pencaharian di kecamatan yang berpenduduk 17.309 ini yang lainnya seperti penarik becak, pompong tambang. Bentuk becak yang digunakan adalah sepeda ontel yang dirakit dengan tempat duduk di sampingnya. Ongkos yang diminta berkisar lima ribu. Ada juga pompong tambang (angkutan laut) dengan ongkos mulai dari dua ribu sampai lima belas ribu rupaih tergantung jauh dekatnya pulau yang dituju. Tapi kalau sudah sewa harganya jadi berbeda, bisa mencapai tiga ratus ribu rupiah.
Bagi toke-toke Tionghoa yang memiliki banyak uang biasanya membikin ”hotel burung” atau penangkaran burung walet. Usaha ini sesuai dengan modalnya juga menghasilkan pendapatan yang meneteskan air liur. Hasil dari mengumpulkan air liur walet ini bisa dijual hingga tiga belas juta rupiah per kilo.
Hotel burung ini terdiri dari gedung tinggi layaknya hotel. Bahkan banyak pendatang yang dari luar provinsi menyangka gedung-gedung tinggi sarang burung walet ini adalah hotel-hotel modern. Tak kurang seorang fotografer nasional kawakan terkecoh. Dalam sebuah ulasannya di majalah Intisari, menyebut sarang burung walet ini sebagai bangunan hotel modern, karena ia membuat fotonya dari kejauhan, sepertinya dari kapal feri. Sehingga tidak sempat mengkonfirmasi ke masyarakat setempat. Jendelanya memang terkadang ada yang didesain layaknya jendela-jendala besar. Diberi hiasan kusen. Layaknya jendela biasa. Tapi ditengahnya bukan kaca, tapi tembok. ’Jendela’ sebenarnya adalah terdiri dari lobang-lobang seukuran tubuh ”sang tamu”, bulat, tak lebih dari 5 diameter. Di dalamnya diperdengarkan lagu-lagu berirama burung walet, tentunya, sebagai penarik minat calon ’sang tamu’. Besarnya pendapatan dari penangkaran burung walet ini merupakan salah satu sumber PAD yang cukup besar bagi kabupaten. Sehingga semakin menjamurlah usaha ini. Padahal bukan tak ada yang protes dengan keberadaan hotel hewan unggas ini. Selain suara lagu yang diperdengarkan yang cukup mengganggu tidur-tidur malam warga juga kotoran burung sangat mengganggu kebersihan lingkungan.
Warga dari suku Tionghoa menempati ruko-ruko di pusat kota. Yang sangat boleh jadi dulunya adalah milik orang-orang melayu yang kemudian dijual kepadaa Tionghoa. Ini bisa dipastikan dari masih adanya sebuah masjid yang berangka tahun 1910, hampir satu abad dan satu dua rumah di sampingnya milik warga Melayu. Hanya lahan tempat ibadah bagi muslim inilah yang tidak bisa dijual. Selain memiliki ruko juga memiliki rumah di kampung lain di daerah Moro.
Seperti kebanyakan warga Tionghoa dimana-mana di bumi indoensia ini, Warga Tionghoa ini adalah kelompok sosial ekonomi paling tinggi di Moro. Merekalah pemegang utama kendali ekonomi di sini. Mulai dari kedai kopi, jasa angkutan, perdagangan sampai pengolahan hasil tangkapan laut. Agama tradisi China Kong Hu Chu masih dianut oleh penduduk Tionghoa di sini. Wihara-wihara yang dibangun cukup megah dengan penginapan-penginapan yang sering dikunjungi oleh penganut dari Singapura. Mereka sengaja menyewa Feri dari sana lengkap dengan biksu-biksunya. Menurut mereka di sini masih tenang untuk sembahyang, dibanding dengan Singapura yang padat dan bising.
Sementara praktik penggalian pasir dulu sebelum dilarang ekspor adalah usaha primadona yang banyak menghasilkan uang. Mulai dari tenaga kerjanya sampai yang punya perusahaan. Yang tersisa saat ini adalah bekas lahan penggalian pasir yang berupa bukit-bukit pasir dan genangan kolam. Serta pulau yang terbelah dua karena terus dikeruk pasirnya, yang menyisakan sekngketa di Kejaksaan Negeri perihal siapa yang bertanggungjawab setelah kerusakan sehabis pesta berlangsung. Dan semua merasa tak ada yang bersalah. Karena semua merasa menikmati pesta ini.
Tradisi minum di kedai kopi adalah ciri kebanyakan palau-pulau di Kepri. Tak terkecuali di kecamatan yang memilki penduduk 17.309 orang ini. Mulai dari pagi sampai sore. Setelah atau sebelum menjalani kesibukan sehari-hari biasanya warga duduk-duduk di kedai dengan ditemani teh atau kopi ’O’ (teh atau kopi panas), teh atau kopi obeng (teh atau kopi dingin). Berbual apa saja. Di sinilah tempat membahas segala persoalan. Mulai dari debat kusir, tukar pendapat dan informasi sampai transaksi dan membuat perjanjian-perjanjian. Saking serunya bahkan ada yang sampai baku hantam karena terlalu kencang tarik urat leher. Minuman ini yang berkisar dua ribu sampai empat ribu rupiah. Untuk menambah betah para pelanggan biasanya disediakan televisi ukuran besar bahkan layar lebar dengan menggunkan in focus.
Ada banyak penginapan. Mulai dari harga lima belas ribu sampai seratus ribu rupiah. Untuk yang sedang, bisa di penginapan Nostalgia. Lima puluh ribu per malam. Kalau ada rencana cukup lama menginap bisa dengan tarif bulanan. Tiga ratus ribu per bulan.
Ada satu minimarket yang terbilang lengkap namun jangan kaget harganya cukup tinggi bila dibanding dengan tempat lainnya.
Transportasi di seputar Kecamatan Moro beragam mulai dari becak sepeda, ojek sampai pompong seperti terlihat di Kelurahan Moro. Sementara transportasi ke desa lain yang biasa rutin namun tergantung banyak tidaknya penumpang seperti ke Desa Sugie, Jang, Tanjung Pelanduk (Pelabuhan Dusun Pasir Tudak), Pauh. Sedangkan transportasi ke Desa Keban, Selat Mie, Tanjung Pelanduk relatif terbatas. Tidak rutin dan harus sewa dengan menggunakan boot dengan ongkos sewa sekitar empat ratus ribu rupiah.
Sedangkan transportasi ke luar seperti ke Tanjung Balai, Tanjung Batu, Tanjung Pinang dan Batam menggunakan transporatsi laut yang beroperasi rutin tiap hari pergi – pulang dengan ongkos berkisar enam puluh ribu rupiah sampai sembilan puluh lima ribu rupiah.
Transportasi air laut seperti MV Buru Indah Tanjung Balai Karimun – Moro, MV Batam Jaya Moro – Batam, MV Gembira Tanjung Batu-Moro-Tanjung Pinang, KM Sinar Moro tujuan Moro – Tanjung Batu, Boot Kuda Laut tujuan Tembilahan – Moro – Batam, Zone 2000 tujuan Moro – Tanjung Balai Karimun.
Instansi Pemerintahan Kecamatan dengan Camat Nusirwan, S.Sos, Sekretaris Kecamatan Muhd. Fidias, SE, Kasi PMD Desnarti. TNI AL (KAMLA) Suyoto, Koramil KPT. CHB EFORI, Kapolsek Burhanuddin, Kejaksaan Rusli Putra Aji, SH, Kantor Urusan Agama (KUA) Drs. Rindul Afkar, Kantor Pos M. Malik, Kehutanan Jalil, Peternakan Iwan, Perusahaan Listrik Negara (PLN) Harra Indra, Perusahaan Air Minum (PAM) R. Rahman Effendi, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Eko. B.
Sarana Ibadah Masjid ada 36 buah, Gereja ada 3 buah, Vihara ada 4 buah. Sarana kesehatan Puskesmas ada 1 buah, Pos Pembantu ada 10 buah
Aparat kemanan TNI AD (Koramil) ada 5 personil, TNI AL (Koramil) ada 4 personil, POLSEK ada 20 personil AIRUD ada 8 personil. HOTEL / WISMA ada tiga Wisma Fajar Moro, Penginapan 868, Penginapan Nostalgia.
Bank yang ada Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dulu ada BRI tapi tutup.
Industri maritim seperti PT Pulau Mas Moro Mulia, bergerak dibidang pengolahan hasil laut jenis tepung ikan Surimi, sotong beku, berlokasi di Kampung Gelegur Kelurahan Moro
Di Kelurahan Moro ada tujuh kampung. Kampung Pulau Moro, Sidomoro, Sidodadi, Kampung Bedan, Kampung Tengah Barat, Kampueng Barat Timur, Kampung Benteng. DI sini fasilitas cukup lengkap mulai dari puskesmas, pertokoan, pasar, pelabuhan dll. Di sinilah pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat.
Untuk ke desa Jang diperlukan biaya tambang dua ribu rupiah dengan jarak tempuh lebih kurang tujuh ratus meter lewat angkutan laut yang setaiap jam ada samapai jam lima sore. DI desa yang berpenduduk 1.804 jiwa ini kondisi alam, kehidupan sosial ekonominya tidak jauh berbeda dengan kelurahan Moro. Dipimpin oleh seorang kepala desa atau sering disebut penduduk setempat dengan penghulu. Desa Jang terdiri tiga dusun. Jang Luar sebagai pusat desa yang satu tanah dengan Dusun Jang Dalam kemudian Dusun Kericik yang berada di pulau terpisah kira-kira lima ratus meter dari pusat desa.
Sedangkan Desa Sugie adalah desa yang terletak kira-kira setengah jam dari Moro dengan feri. Dengan biaya tambang sepuluh ribu rupiah. Feri ke Batam biasany singgah dulu ke Sugie setuap hari. Tapi ada juga pompong tambang dari Sugie ke Moro biayanya delapan ribu. Berangkat pagi dari Sugie pulang jam sebelas. Ada empat dusun : Sugie, Pulau Jaga, Semukul dan Mentangon. Mayoritas nelayan dan petani rumput laut.
Dulu Cuma dikenal dengan Pulau Sugie. Cikal bakal desa Sugie ini sudah sejak zaman kerajaan. Yaitu ada perkampungan yang bernama Kampung Sulit, di Desa Keban Sekarang. Bahkan dulu Moro, yang menjadi pusat pemerintahan sekarang, dulu menginduk ke Sulit. Ketika zaman Belanda, kemudian dipindahkan ke Moro karena lokasi Sulit yang agak jauh menyulitkan masyarakat untuk membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Padahal kalau terlambat bayar, tanahnya dirampas. Sehingga kemudin dikenallah dengan Moro Sulit. Padahal dulunya Moro itu dulu bagian dari kerajaan Sulit dan bagian dari Pulau Sugi atau dikenal dengan Pulau Sugie Bawah.
Demikian juga dengan pusat kegiatan masyarakat di Pulau Sugi yang semula ada di Sulit juga bergeser ke Kampung Pemburu yang kini dikenal dengan desa Sugie, karena menjadi pusat kegiatan dan pemerinatahan. Ada Sungai yang ada di Sugie yang dikenal dengan Sungai Pemburu yang saat ini dangkal menurut kisah dulunya karena sumpah dari Raja Serapung (Dikatakan sebagai salah satu Raja di Sumatera). Raja Serapung in datang ke Kampung Sulit untuk mengadu ayam dengan ayam milik Raja Sulit. Ia bersumpah kalau ayam jagonya kalah maka Sungai Pemburu akan dangkal selamanya. Ternyata ayam Serapung memang kalah sehingga Sungai Pemburu jadi dangkal sampai sekarang (Sebenarnya sih karena erosi).
Di lain kisah diceritakan ada salah seorang penduduk kerajaan Sulit yang biasa mencari ikan di perairan kerajaan Serapung. Ada panglima Serapung yang setiap hari memalak penduduk tersebut, hasil tangakapannya selalu diambil panglima. Penduduk Sulit tersebut yang merasa tidak terima, meminta pengertian Panglima agar hasil tangkapannya tidak diambil karena dia juga butuh makan sedang dia seorang yang miskin dan tua. Tersinggung dengan bantahan si orang tua, Panglima mengajak duel si orang tua. Si orang tua pun jadi ketar ketir. Dia merasa menyesal telah membantah tindakan Sang Panglima. Namun Sang Panglima tidak mau menarik tantangannya. Dengan terpaksa, si orang tua melayani juga tantangan tersebut. Ditentukanlah hari dan tempat duel. Banyak yang datang ingin menyaksikan seorang yang telah berani membantah panglima yang terkenal perkasa dan kejam. Bahkan raja nya pun merasa tidak berdaya di hadapan Panglima ini. Masyarkat sebenarnya banyak yang tidak setuju dengan tindakan-tindakan Panglima yang tidak berprikemanusuiaan itu. Ada satu kebiasaan panglima yang memuakkan, yaitu setiap ada seorang gadis yang menikah dengan seorang laki-laki. Maka sebelum si suami menggauli istrinya Panglima dulu yang menidurinya.
Alhasil, duel pun terjadi. Panglima diiringi pengawalnya dengan perlatan lengkap datang ke arena pertarungan. Sedang si orang tua, hanya diikuti istrinya yang juga sudah tua, menangis tersedu-sedu karena sebentar lagi ia akan terpisah dari suaminya yang begitu disayanginya itu.
Si orang tua dipersilahkan memilih senjata tanding. Pedang dan tombak yang mengkilat ditawarkan raja. Tapi Si Orang tua hanya melilih satu pedang yang sudah usang, kusam dan berkarat. Ketika dipersilahkan untuk memilih yang bagus, si orang tua berkeras memilih tombak usang tersebut. ”Sesuai dengan saya baginda, tua dan tak berguna,” alasannya pada sang raja.
Berhadapa-hadapanlah kedua petanding yang tak seimbang ini. Panglima mempersilahkan kepada si orang tua untuk menunjukkan kebolehannya. Tapi si orang tua yang tak bisa apa-apa, mempersilahkan panglima untuk memperlihatkan kebolehannya. Sang Panglima beraksi dia meloncat dengan ringan setinggi pohon kelapa lalu mendarat ke bumi bagai burung. Semakin ketar ketirlah si Orang tua. Tapi pertandingan harus dilaksanakan. ”Sekarang silahkan oranhg tua menikam saya duluan..” Pinta Panglima. Si Orang tua pun memberanikan diri. Dengan sekuat tenaga di dorongnya pedang usang dan berkarat di tangannya mengarah tepat ke dada Panglima. Dan ”Crasss...” pedang tepat menancap di dada panglima hingga tembus sampai ke punggung. Darah bercucuran Panglima pun tewas di tangan si orang tua tak berdaya dengan pedang usang dan berkarat. Ternyata pedang yang dipakai oleh si Orang tua begitu pusakanya sehingga walau usang mampu menembus kulit Panglima yang seharusnya sekokoh tembok besi.
Desa Tanjung Pelanduk, desa terujung di Kecamatan Moro. Tak ada feri rutin. Kalau mau ke Moro harus ke Keban dulu. Pakai boat sendiri. Baru naik feri. Masyarakat Tanjung Pelanduk sering mengeluh, lebih baik masuk Batam aja dari pada Moro. Lebih dekat ke Batam, transportasinya lancar. Setiap hari ada.
Di sini ada sebuah kedai manisan, mandam (sewa pakaian dan perias pengantin). Kedai Mak Aji Sur, namanya. Di depan kedainya ada daftar harga jasa foto dengan harga-harganya :
Pesta : 5.000
KTP : 20.000
Warna : 20.000
Plos Aaf : 20.000
Plos Aaf maksudnya close up. Demikianlah, kadang-kadang masyarakat begitu polos. Tapi sebenarnya mereka cerdas. Dan ini bawaan tidak dipelajari di bangku kuliah manapun. Tapi belajar dari kehidupan. Mereka tidak menunggu kursus bahasa Inggris dulu, belajar bahasa inggris sampai 10 semester untuk membuka usaha fotografer. Maka untuk menyebut pasfoto cukup dengan menyebut Plos Aaf dan uang pun mengalir. Yang boleh jadi tidak bisa dilakukan seorang yang sarjana seperti si Fulan atau si Allan.
Mak Aji Sur boleh jadi orang terpandang dan cukup berada di Desa Tanjung Pelanduk. Keluarganya banyak di Singapura. Ulang alik ke Singapura adalah kerjanya. Selain bisnis juga silaturrahmi keluarga. Mak Aji punya ibu yang sudah tua dan pikun. Mak Aji pengantin baru. Suami pertamanya meninggal. Nikah lagi dengan duda berasal dari Batam. Pak Zainal namanya. Pak Zainal ikut ke Tanjung Pelanduk. Ikut terlibat membantu bisnis istri barunya. Sekarang ia dipercaya sebagai RW di sana.Desa Keban juga termasuk desa yang berbatasan dengan Batam. Bahkan salah satu pulaunya, Pulau Badas diklaim Batam sebagai bagian dari wilayahnya. Padahal sudah jelas di peta. P Badas adalah bagian dari Keban Moro. Memang kemudian Batam mengakui, tapi ini melalui perdebatan panjang di tingakt provinsi. Di Keban ada delapan kampung yang semuanya dipisahkan dengan pulau. Bisa dibayangkan, susahnya mengurus delapan pulau dalam satu desa. Sering tidak nyambung karena kurang silaturrahmi akhirnya banyak komunikasi yang menjadi salah paham. Yang berpotensi jadi konflik. Sepertinya dipecah jadi delapan desa menjdi ide yang menarik. Di tiap Pulau ada 100 KK bahkan lebih. Sudah layak jadi desa. Tapi ya itu tadi menyangkut sdm juga, sepertinya. Untuk ke Keban ada feri rutin dengan biaya tambang lima belas ribu. Jadualnya senin, selasa, kamis, Ahad. Berangkat dari Keban jam tujuh. Berangkat dari Moro ke Keban Jam dua belas. Pas orang azan. Saya pernah ketinggalan karena sholat dulu padahal tas sudah di dalam feri. Jadi kejar-kejaran.

Monday, June 2, 2008

Moro

Saat

Terlambatnya Dana 30% Tahap III

Moro, Dana PNPM tahap III yang berasal dari APBN di KEcamatan Moro sudah memasuki bulan ke tiga. Selama itu, ada delapan kegiatan di Kecamatan Moro yang sampai saat ini masih terbengkalai. Mulai dari Posyandu yang belum dipasang atapnya yang terhujan dan terpanas di Desa Selat Mie sampai pelabuhan yang rangka besi untuk tiangnya terendam air di Desa Pauh.
Lalu kepada siapa kami harus mengadu ? Dan kami sadar ini pun atak akan ada yang menanggapi. Ketika tiap hari berjumpa dengan TPK, KPM, Tim 18, terus ditanya. Sudah habis jawaban yang diberikan. Mujur mereka mengerti, jadi tak sampai ada aksi demo.
Celaknya, dana operasional yang bagaikan bensin bagi bergeraknya roda tahapan PNPM di Kecamatan mengalami nasib yang kurang lebih sama. Samapi saat ini, swadaya adalah kata-kata yang makin bersahabat. Setidaknya masyarakat masih mau berswadaya. Semoga kepercayaan terhadap PNPM Mandiri Perdesaan ini tak menjadi luntur hanya karena keterlambatan demi keterlambatan ini.
Sudah cukup ? Ternyata belum ! Gaji dan tunjangan pendamping yang diantaranya berguna untuk mengayuh sampan PNPM juga mengalami nasib yang jauh berbeda. Setidaknya samapai detik ini ada dua bulan tunjangan yang belum diterima pendamping.
Mudah-mudahan dengan tulisan ini semakin menambah persediaan kesabaran kita. Amiin.