Sunday, March 27, 2011

Ceramah Ustadz Sulaiman : Hakikat Shalat.

Shalat sebagai ibadah selain sebagai sebuah perilaku ritual seharusnyalah juga berdampak kepada perilaku sosial. Istilahnya, hablumminallah hablumminannas. Selain menjaga hubungan dengan  Allah swt sebagai Sang Kholik juga menjaga hubungan antar manusia agar berjalan sesuai dengan yang dikehendakiNya. Shalat harus dijalankan bukannya hanya rangkaian dengan rukun-rukunnya yang sudah disyariatkan, tetapi juga dilaksanakan dengan penuh kebermaknaan dalam khusyu'. Ada banyak kandungan hakikat yang terkandung dalam setiap gerakannya. Shalat adalah upaya kita berdialog dengan yang Maha Besar. Lebih besar dari segala yang ada di dunia. Kalau kita begitu takzim di depan penguasa di dunia, sepatutnylah kita lebih takzim kepada penguasanya para penguasa di dunia. Berdiri dengan betul, tegak menghadap wajah kepada Allah swt, berarti kita harus tegar dan konsisten, tidak mudah ragu bimbang kepada ajakan dunia yang membawa kepada keburukan. Takbir, kita mengangkat tangan dengan menghadapkan sepuluh jari ke muka, berucap Allahu Akbar, bermakna bahwa kita berserah diri dengan seluruh kelemahan kita kepadaNya. Kita baca iftitah, Kita hadapkan wajah kita kepada Allah swt, kita berjanji hidup dan mati kita hanya karena Allah swt semata. Kita baca alfatihah. Lalu rukuk kita menghadap ke bawah. Kita seperti diingatkan bahwa kita sering-sering menghadap ke bawah. Apakah sudah menyantuni anak yatim atau belum. Kalau belum berarti rukuk kita belum sempurna di hadapan Allah swt. Kita baca Subhanarobbiyal 'adzimi wa bihamdihi, tiga kali. Kita pahami maknanya kita memahasucikan dan memuji Allah swt. Disebut tiga kali karena kita ingin agar Allah swt jga mensucikan akal, rasa dan hati kita. Mensucikan akal kita yang sering nakal. Mensucikan hati kita dari iri, dengki, sombong, sering berbohong, menipu dan sebangsanya. Lalu kita sujud juga membaca tasbih. Kita cium bumi yang sudah berumur milyaran tahun ini. Lalu kita duduk antara dua sujud. Itulah hidup kita. Hidup kita di dunia ini sekarang seperti duduk antara dua sujud, sementara lalu kita sujud lagi mencium bumi. Awalnya kita berasal dari tetes yang hina. Dari sperma ayah dan sel telur ibu kita. Orang tua kita makan nasi, sayuran dan makanan lainnya yang asalnya ditanam di dalam tanah. Lalu makanan itu berubah menjadi sperma dan sel telur. Bertemu di rahim ibu jadilah kita. Kita hidup di dunia sekian lama lalu akan kembali ke dalam tanah lagi. Dikubur dan orang-orang yang kita tinggalkan menyebutnya dengan sebutan almarhum dan almarhumah. Yang dirahmati. Apa betul kita dirahmati ? Cuma sebutan di dunia. Di dihadapan Allah swt belum tentu sama sekali. (*)

Thursday, March 3, 2011

Life

Mensyukuri masih ada kehidupan, hari ini. Setiap saat setiap kesempatan, mencoba berterima kasih kepada Tuhan. Kehidupan adalah hadiah terbesar yang pernah kita terima. Kehidupan tak pernah menjanjikan apa-apa dari apa yang kita dapat lihat dan rasakan kini, bila keinginan hanya untuk menikmati dunia.  Dia hanyalah sebuah cerita nyata, kita pemainnya. Kita tahu apa yang harus kita perankan, pada kehidupan ini. Lampu, suara, warna warni. Asesoris dunia melengkapi. Kita berhak mendapatkan semuanya, dan kita wajib memanfaatkannya dengan maksimal. Inilah satu satunya kesempatan mahal, bernilai. Milyaran orang yang saat ini sudah wafat, pasti ada yang ingin sekali membeli kehidupan ini lagi. Uang yang dicari bertahun-tahun tak akan bisa membayarnya. Lalu sebab apa menyebabkab kita menyia-nyiakan barang yang teramat mahal ini ?

Jangan usir anak kita dari masjid dengan sikap kita

Seberapa banyak kanak-kanak yang kemudian berusaha menjauh dari masjid hanya karena sikap kita, orang tua, yang tanpa sadar agak berlebihan. Namanya anak-anak bermain adalah pekerjaannya. Kalau sudah berkumpul pasti rame. Dimana saja tak terkecuali di masjid.
Ada di suatu desa, saban sore masjid dipenuhi anak-anak. Terutama maghrib, sekalian belajar ngaji usai shalat maghrib. Saat menjelang shalat maghrib, anak-anak seperti sifatnya, selalu banyak main. Tapi mainnya agak teratur. Saling colek, saling ganggu di tempat wudhu tapi tidak berisik. Ngomongnya juga pelan-pelan. Kalau kita lewat di samping mereka, mereka menatap dengan tatapan yang  seperti heran, takut, segan atau sopan. Ketika saat imam mengangkat takbir memulai sholat anak-anak ini tak ada yang bersuara, rapi mengikuti imam dengan tertib. Tak ada suara berisik, ribut main-main yang berlebihan sampai mengganggu. Padahal anak-anak ini ada sekitar empat saf berbaris di belakang imam dan orang dewasa di depannya. Ya terlihat tertib. Kontras dengan anak-anak di desa satunya. Saat sholat Jum'at, orang tua sholat, anak-anaknya sibuk bermain, suaranya kencang seperti di pasar.
Kembali ke desa yang pertama, entah bagus atau tidak, ternyata semua orang dewasa yang sholat di masjid itu dibolehkan menjentik telinga anak yang didapatinya ketahuan ribut atau main-main. Anak-anak ini dipastikan tak akan melaporkan jentikan Mang Ujang kepada Bapaknya yang akan berujung baku pukul. Karena Sang bapak pasti sudah memafhuminya karena ia juga akan menjentik telinga anak Mang Ujang kalau kedapatan ribut saat mau dan sedang sholat. Tapi nampaknya cara ini efektif, buktinya kok bisa tertib begitu. Tapi boleh jadi ada sebab lain yang tak diketahui seperti guru ngajinya yang berkharisma atau yang lainnya.
Lalu di sini, Pak Aji satu ini, kayaknya sudah habis kesabarannya. Melihat anak-anak yang masih saja main-main padahal sudah waktunya sholat maghrib. "Tidak usah sholat, tidak usah sholat..kalau mau main." Di sadari atau tidak sikap seperti ini yang akan menjauhkan anak-anak dari masjid. Di samping motivasinya masih lemah, ditambah diusir  dari masjid, sangat boleh ini salah satu penyebab kita yang setelah tua sungkan datang ke sini. Bandingkan dengan Pak Aji di masjid lainnya. "Adek sholatnya jangan ribut ya..rapat-rapat..." Ujarnya lembut.
Kita harus punya cara sendiri-sendiri bagaimana agar anak-anak, generasi  kita tidak menjauh dari masjid.(*)

Tentu saja Tuhan Lebih LAyak Kita Cintai daripada Sebatang Rokok


Perokok itulah gelar yang disandang dulu. Mengenal rokok sejak kecil, dari main-main. Melihat gede (kakek) menghisap rokok pucuk (daun nipah). Kelihatannya asyik keluar asapnya ngebul dari mulut dan hidung. Bukan hanya gede, yang dilihat tapi juga bak (bapak), mamang, bahkan ada bibik-bibik yang merokok. Jadi kenyataan ini (merokok) sudah diterima sebagai sebuah aktifitas yang baik-baik saja, buktinya gede yang umurnya sudah banyak pun merokok. Herannya ketika kita coba memegang saja, sudah dibentak. “Heh.. anak kecil jangan pegang-pegang..” Oh jadi anak kecil tidak boleh pegang, kalau sudah besar boleh dong. Kalau tidak bisa dilihat mulai dengan sembunyi-sembunyi ambil rokok pucuk gede plus temakonyo (tembakaunya). Di sulut isap..puss..terbatuk-batuk..rasanya aneh, tidak enak sama sekali, tapi lucu juga ada asapnya…  Demikianlah pengenalan terhadap rokok sudah diperkenalkan sejak usia dini bahkan ketika jabang bayi masih dalam kandungan emaknya ada juga yang telah memperkenalkannya.
Hingga ketika kuliah merokok adalah aktifitas yang wajib. Bukan persoalan uang ada berapa di kantong. Yang penting bagaimana agar selalu bisa ngebul. Ibarat kereta api, tidak akan jalan kalau tidak asapnya. Saking wajibnya, rela nggak sarapan, yang penting bisa merokok.
Lalu kenapa sekarang bisa berhenti ?
Keberhasilan untuk berhenti merokok sebenarnya hasil dari akumulasi penyadaran demi penyadaran setiap saat dan kesempatan. Tidak serta merta berhenti begitu saja. Ada proses yang dilewati.
Awalnya memang ada niat untuk berhenti karena memang merokok ini memang tidak ada manfaatnya sama sekali. Kemudian mengagumi teman yang bisa berhenti merokok. “Kok bisa ?” Padahal dulu berbungukus-bungkus. Jadi ada model, idola tersendiri. Ada keinginan untuk mencontoh. Kemudian ada ungkapan kita akan mati dengan apa yang kita cintai. Lagi asyik merokok ada suara adzan. Adzan panggilan dari Tuhan untuk menyembah bukti kesyukuran dan kecintaan kepadaNya. “Tanggung masih panjang..” Sambil menyedot adzan berkumandang, sepertinya aku lebih cinta kepada rokok daripada Tuhan".  Dapat terlihat jelas kejelekan ini. Seperti dihadapkan kepada pilihan, memilih Tuhan atau setengah batang rokok. Tentu saja Tuhan tak sebanding hanya dengan setengah batang rokok. Tapi ingatan untuk tidak merokok tidaklah permanen. Setiap selesai makan tidak lengkap kalau tidak merokok. Lagi bengong sendiri, rokok adalah kawan setia. Lagi kumpul-kumpul dengan kawan perokok, kita seperti terkucil dan diledek kalau tidak merokok. Memang godaan untuk merokok teramat banyak. Tapi dicoba untuk konsisten kepada keinginan. Ketika ingat niat, tidak berpanjang-panjang mikir langsung dibuang. Buanglah apa yang dicintai sebelum yang dicintai membuang kita. Kalau kita tidak membuang rokok, kita akan dibuang oleh rokok, suatu saat. Merokok lagi, buang lagi. Itulah rumusnya. Kemudian ketika ada yang ingin berterimakasih kepada kita karena telah menolongnya dalam bentuk rokok satu bungkus. “Wah rezeki betul ini.” Tapi mencoba konsisten. Daripada mubazir lebi baik dijual saja, lumayan untuk sebungkus nasi. Tapi bolak-balik bukan kita yang merokok malah teman kita yang kita suruh merokok. Ini agak bertentangan dengan semangat berhenti merokok. Al hasil dibuanglah rokok itu. Biar agak dramatis, dibuka bungkusnya dibuang satu demi satu ke dalam selokan sampai dua belas batang. Jadi kerasa nikmatnya mencampakkan sesuatu yang tidak patut kita cintai.
Kemudian hingga tiba di akhir upaya untuk betul-betul berhenti merokok. Merek rokok kan macam-macam dari yang merakyat seperti jambu bol, yang berat kayak Djisamsu, yang ringan seperti marlboro sampai yang elit seperti cigarillos. Nah macam-macam rokok ini sebelum betul-betul berhenti kayaknya bagus untuk semua dicoba. Muncullah ide untuk mencoba semua jenis rokok. Jadi hari ini misalnya rokok GP, besok ganti rokok  Surya. Dengan catatan setelah pindah ke rokok lain, Surya, maka jangan sekali-kali merokok GP selamanya. Walaupun dikasih. Kalau Dikasih ya diambil tapi dibuang. Selesai Surya ganti GG merah. Perlakuan yang sama dengan seperti yang pertama. Terus ganti terus, dicoba semua, jarum kuning, panamas, jambu bol, dll terakhir Kansas. Setelah dirasa cukup. Semua rokok dicicip. Jadi  tak ada lagi kesempatan untuk merokok karena semua ‘diharamkan’. Hingga akhirnya betul-betul tidak cinta sama tuh yang namanya merokok. Hingga saat ini, sepuluh tahun lebih. Mudah-mudahan sampai mati.
Jadi pengalaman berhenti merokok lebih kepada pengalaman pribadi, yang boleh jadi tidak bisa diterapkan begitu saja kepada pribadi yang lain. Tapi satu yang sama bahwa niat yang konsisten mungkin yang akan sama. Masalah pengalaman, implementasi niat ini sampai berhasil akan bergantung kepada latar pribadi masing-masing. Ditunggu deh pengalaman dan sharingnnya.(*)