Wednesday, December 8, 2010

BAlada angkot dan dunia sempit di dalamnya

Pulang kampung adalah sebuah ritus menarik bagi para kaum urban. Dengan pulang kampung ada penemuan kenangan kembali terhadp identitas diri yang lama ditinggalkan. Ada nostalgia, kerinduan dan kebahagiaan. Berbagai seremonial proses kembalinya jati diri ini ke kampung ini, menjadi wisata tersendiri. Pun aku, dengan prediksi bahwa biasanya ketika moment tertentu ada banyak pemudik yang memiliki keinginan yang sama untuk pulang kampung. Biasanya bagi pemanfaat transportsi angkot seperti saya, sudah terbayang pasti berjubel. Rebutan kursi, kayak anggota dewan. Syahdan, tibalah diri ini di terminal. Angkot yang dirindu-rindu sudah nangkring lengkap dengan sopirnya. Menyapaku lembut. ”Mau kemana..?” Aku menyebutkan desaku nan permai. Ternyata sang sopir kawan main bola dulu di waktu esde. Seperti kebanyakan angkot penampilannya selalu menunjukkan dirinya sebagai sebuah alat publik yang terkesan tak terawat. Awalnya sih lapang-lapang saja. Tempat duduk di tengah, bangku panjang. Aku istri dua sang anak. Mulai menikmati keadaan. Lama menunggu. Satu dua, tiga sampai sembilan orang berjejal. Penuhlah si angkot dengan para penumpang. Plus barang-barang titipan sebuah warung di desa. Menggunung sampai ke langit langit angkot menempti bangku yang mustinya diisi penumpang. Mulai dari gulungan tali, sangkar piring, kardus-kardus sampai pakan ayam. Menebar aroma tersendiri. Tumplek blek berbaur dengan cuaca tengah hari dengan matahari yang bersinar terang tak terhalang. ”Berngkat pir...”.
Dimulailah perjalanan itu. Di dalam angkot ini, dunia terasa begitu sempit. Bumi sejatinya menurut data wikipedia mempunyai diameter sepanjang 12.756 kilometer, teramat luas. Di sini hanya menjadi diamter 0,5 meter. Meluruskan kaki pun susah. Selama dua jam, menikmati keadaan ini. Anak-anak menangis. Jus jeruk sudah habis, dot sudah amblas, air putih mulai menyusut. Panas masih mejadi dirinya sebagai panas. Demikianlah, serba salah maju, mundur tidak bisa apalgi ke atas atau ke bawah. Tertekan dan tak lupa mengingat keluasan cintaNya. Dan akhirnya sampai juga di sini, di desa ini. Satu-satu keluar... Baru terasa bahwa nikmat luas bumi yang diciptakan. Betapa kita bebas mau bergerak mau kemana tak ada penghalang. Di sini, di bumi yang konon sudah berusia 4,6 milyar tahun ini (*)