Orang-orang
berkerumun. Gedeh Mat menggerutu. Kakek berumur hampir enam puluh lima
tahun ini memaki-maki Nurdas yang telah mencuri ikan-ikan hasil
tangkapannya. Awalnya ia hanya bercerita kepada Cit, kemenakannya yang
ditemuinya di pinggir sungai, sehingga tak banyak yang tahu. Tapi
kemudian
banyak orang yang tertarik dengan perbincangan serius Gedeh Mat yang dikenal dalam kesehariannya tak banyak ulah itu. Satu dua warga berkumpul mencari tahu ada apa, akhirnya jadilah kerumunan mengelilingi Gedeh Mat.
banyak orang yang tertarik dengan perbincangan serius Gedeh Mat yang dikenal dalam kesehariannya tak banyak ulah itu. Satu dua warga berkumpul mencari tahu ada apa, akhirnya jadilah kerumunan mengelilingi Gedeh Mat.
”Ini betul-betul perbuatan orang kurang waras…,” ujar Minah, seorang ibu rumah tangga yang tengah memandikan anaknya di sungai.
”Betul. Orang setua Gedeh Mat seharusnya dikasihani, bukan dizolimi seperti itu...,” timpal ibu yang lainnya.
”Maksudnya mau membeli barangkali?” Bela ibu yang lainnya.
”Kalau beli pakai duit... Atau kalau memang mau minta, kan bisa ngomong.” Tegas ibu pertama.
Semua diam menatap iba kepada Gedeh Mat yang masih merepet-repet pelan.
***
Sore
itu, seperti biasa, Gedeh Mat mencari ikan. Biasanya sehari sebelumnya
dia pasang bubu, lalu satu hari --> dia periksa. Apakah ada ikan
yang terperangkap atau tidak. Kebetulan sore ini hasilnya lumayan.
Ikan-ikan hasil tangkapannya hampir tiga kilo dikumpulkan di dalam wadah
ikan berbentuk jaring, disangkutkannya di pohon, sementara dia mandi.
Selagi dia mandi itulah Nurdas beraksi mengambil ikan-ikannya yang tanpa
disadarinya ternyata diperhatikan oleh Benu, anak usia empat tahun yang
juga sedang mandi di sungai itu bersama ibunya.
***
”Kau
seharusnya berhenti mencari ikan, Mat. Beli saja, kan banyak yang
jual.. Minta duitnya sama Pian, Anshor atau Kut anak-anakmu itu,” Saran
Mat Impit, sejawat Gedeh Mat kepadanya.
”Saya mencari
ikan bukan untuk makan saja, Pit. Badanku ini sakit-sakit kalau tidak
mencari ikan. Di samping itu saya bukan tipe orangtua yang mau begitu
saja mengemis kepada anak-anaknya. Biar begini badan saya masih kuat,
kalau hanya untuk pekerjaan seperti ini...,” bela Gedeh Mat.
Mat
Impit tak bisa menyalahkan. Mencari ikan adalah kebiasaannya sejak
dahulu. Segala cara ditempuhnya mulai dari menjaring, mancing, pasang
bubu sampai menikam untuk memburu ikan-ikan.
Sekarang pun Gedeh
Mat puas dengan hasil keahliannya mencari ikan, walaupun tidak sebanyak
waktu muda dahulu. Bila ada yang mau membeli ikan tangkapannya, Gedeh
Mat tak jarang menjualnya. Kalau tidak, bisa untuk dimakan atau oleh
istrinya diolah lagi untuk membuat kerupuk untuk dijual.
”Terserah berapa mau kasih,” Jawabnya
bila ditanya berapa harga ikannya. Bahkan tak jarang ia memberikan
sebagian ikan tangkapannya kepada tetangganya yang tak bisa membayar.
Selain mencari
ikan, ada satu lagi kegiatan Gedeh Mat yang tak kalah pentingnya, yaitu
tukang urut, khususnya bagi yang terkilir dan patah tulang. Hampir
seluruh warga di desa Gedeh Mat, bila terkilir atau patah tulang jarang
langsung ke Puskesmas. Pasti ke rumah Gedeh Mat. Hasilnya sudah bisa
ditebak, pasti memuaskan. Dari keahliannya yang satu ini pun Gedeh Mat
memperoleh penghasilan yang cukup lumayan. Karena tak ada tarif khusus
yang ditetapkan, tapi rata-rata pasiennya selalu memberi uang lebih
sebagai tanda terima kasih. Tapi ada juga yang tidak bisa memberi
apa-apa selain ucapan terima kasih malu-malu. Ini pun tidak membuat
Gedeh Mat dongkol dan menyumpahi agar patah tulang pasiennya semakin
parah, misalnya. Dan saking terkenalnya, pasiennya bukan hanya berasal
dari dalam desa tapi juga dari luar.
”Bagi
saya tukang urut ini bukan hanya sebagai sumber mata pencaharian, Lebih
dari itu, ini sebuah pengabdian saya kepada orang banyak. Mudah-mudahan
kalau ada yang merasa tertolong, ini akan menjadi amal saya di akhirat
kelak.” Demikian Gedeh Mat selalu menjawab kalau ada anak-anak atau
cucu-cucunya yang mempersoalkan kemurahhatiannya.
Perihal
kemahirannya di bidang urut mengurut, Gedeh Mat menuturkannya sebagai
hasil dari keahlian yang didapat secara turun temurun.
”Saya dapat dari ayah, ayah dari kakek, kakek dari buyut dan seterusnya,” Jelasnya.
”Saat
mengurut, sepertinya bukan tangan saya yang mencari tulang-tulang yang
terkilir atau patah, tapi tulang-tulang itulah yang mencari tangan saya.
Seperti ada magnet-nya. Jadi saya tahu persis mana titik-titik
yang menjadi permasalahan di tulang tersebut. Mungkin saking sudah
akrabnya tangan saya ini dengan tulang-tulang ...,” ujarnya
menduga-duga.
”Tapi yang jelas, semua ini karena kuasa-Nya semata.” Tambah Gedeh Mat.
***
Palembang, 6 Februari 2012
No comments:
Post a Comment